Selasa, 27 Desember 2016

Celengan Ayam dan Filosofi Kesederhanaannya

Sebelumnya saya ingin bertanya,ada nggak sih di antara kalian yang di zaman modern ini masih memiliki celengan (tempat menabung), entah yang terbuat dari plastik atau tanah liat (lempung)?.
Waktu kecil tentu kita sudah diajarkan orang tua untuk membeli celengan dan menyisihkan sisa uang saku di celengan, entah 100 perak atau 500 perak yang penting masuk ke dalam celengan. Ada perasaan bahagia ketika celengan kita semakin berat, berat karena isi di dalamnya kebanyakan koin. Kalau saya sedang ingin membeli sesuatu tetapi tidak mungkin minta kepada orang tua, celengan adalah tempat “mengadu”. Ada perasaan berat kala itu jika celengan harus dibuka/dipecahkan, tetapi karena kebutuhan mendesak alhasil saya mengorek-ngorek isinya dari lubang di atas dan mendapatkan beberapa koin, lumayan :D Semakin dewasa kebanyakan dari kita pasti mengalihkan sarana menabungnya kepada bank alias mempunyai rekening tabungan. Bank menawarkan 2 hal kepada kita: tabungan yang aman dan ber-bunga sehingga celengan mulai ditinggalkan. Entah mengapa di tahun 2011 saya ingin kembali mempunyai celengan terutama dari tanah liat. Sempat keliling keluar masuk pasar dan saya menemukan satu bentuk celengan yang menarik, celengan berbentuk ayam yang rupa dan catnya sangat menarik, harga Rp10.000,- (dari Rp15.000,-).
Sebetulnya, dari bentuknya yang sederhana celengan mempunyai kelebihan yang tidak dipunyai bank, yaitu; Fleksibilitas (dalam pengambilan dan memasukkan uang). Kalau bank, ketika ingin memasukkan uang/menyetor kita mesti mengisi slip setoran dan antri, yang pake mobile banking keluar pulsa dan administrasi ke bank, begitupun sebaliknya jika ingin mengambil uang. Kalau celengan? Setiap detik ia menyediakan dirinya untuk uang kita, berapapun nominal uang kita. Tanpa sapaan dan kata baku yang diucapkan oleh petugas bank, ia (celengan) sudah menydiakan diri bagi untuk dipakai kapan saja. Dulu saya mengkhususkan celengan ini kelak akan mampu membiayai berlibur ke Raja Ampat, meskipun setiap harinya saya berusaha menyisihkan Rp2000,- untuk dimasukkan ke celengan, kadang-kadang bisa menyisahkan uang Rp100.000,-. Pasang target sengaja tinggi biar semangat untuk menyisihkan selalu ada, tidak peduli bisa terwujud atau enggak. Sampai tiba berita bahwa Tim Inter Milan akan mengadakan tur ke Indonesia pada bulan Mei, berita yang tidak saya sangka. Dalam pikiran, mau seberapa besar harga tiket pokoknya harus dapat VIP. Eh taunya tiket VIP di luar hitungan, 6x lipat dari harga kelas 1 yang Rp500.000,-. Alhasil beli tiket kelas 1 saja dan celengan ayam dengan berat hati mesti dipecahkan. Harapan celengan ayam yang bisa membiayai liburan ke Raja Ampat semakin jauh dan saya mulai lagi mencari celengan tanah liat. Ketika mencari di Pasar Suci, orang berkomentar “mana ada yang jual celengan dari tanah liat, sekarang banyaknya plastik mas” tapi toh nyatanya celengan tanah liat masih bisa saya dapatkan. Filosofi kesederhanaan celengan tanah liat yang lain adalah bentuk dan cat-nya. Hal yang mungkin tidak di dapatkan pada celengan kaleng atau plastik. Tangan-tangan pembuat celengan tanah liat adalah tangan yang special; membentuk detail paruh si ayam atau membentuk tubuh katak dan mengecat bagian tersebut dengan telaten dan sabar, hingga mengeringkannya di terik matahari sampai bentuk bermacam-macam hewan sempurna tampilannya. Alat- alat tradisional yang mungkin masih digunakkan turun-temurun semakin menguatkan bahwa celengan tanah liat adalah simbol kesederhanaan. Ia ada setiap detiknya bagi kita, ia tidak akan pernah mengenakan biaya administrasi kepada kita bahkan ia rela menyerahkan “tubuhnya” dihancurkan untuk kemudian diambil isinya. Terakhir, percaya atau tidak kesederhanaan sebuah celengan dapat memberikan kita semacam sugesti agar kita giat mengisinya karena dengan cara itulah, sebuah celengan merasa ia diperhatikan dan dirawat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar