Persoalan etika dan agama adalah dua hal yang
tidak perlu dipertentangkan. Bahkan seperti disampaikan oleh Franz Magnis
Suseno Etika memang tidak dapat menggantikan agama, tetapi etika dapat membantu
agama dalammemecahkan masalah yang sulit dijawab oleh agama. Misalnya,
bagaimana kita harus mengartikan sabda Allah yang termuat dalam wahyu?
Bagaimana menanggapi persoalan moral yang belum dibicarakan ketika wahyu
diterima, seperti bayi tabung atau pencangkokan ginjal? Pertanyaan-pertanyaan
ini memperlihatkan bahwa bagaimanapun agama membutuhkan etika dalam memecahkan
masalah-masalah tersebut. Etika dalam pandangan Magnis Suseno adalah “ usaha
manusia untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk menyelesaikan masalah
bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik, itulah sebabnya mengapa justru kaum agama
diharapkan betul-betul memakai rasio dan metode-metode etika.” Tetapi
sebaliknya memutlakkan etika tanpa agama adalah berbahaya. Ini yang dikatakan
A.SudiarjaSJ bahwa etika bisa merendahkan atau cenderung mengabaikan kepekaan
rasa, kehalusan adat kebiasaan,konvensi sosial dan sebagainya. Bahkan bahaya
formalisme bisa terjadi, berpikir baik buruk secara moral tetapi tidak mampu
menjalankannya. Etika bisa menjadi ilmu yang kering dan mandul yang mempunyai
kebenaran tetapi kurang mampu dilaksanakan. Akhirnya kita hanya bisa menjadi
pejuang moral di mana kita sendiri tidak memaknai apa yang sedang kita
perjuangkan. Kita kritis terhadap tindakan moral tetapi kita sendiri sulit
untuk melakukan apa yang di kritisi. Sebaliknya manusia yang hanya mengandalkan
agama tanpa etika maka merekapun cenderung akan menjadi budak absolut kebenaran
pada agamanya. Nietzsche menyebutnya “Moral Budak-budak”. melihat sesamanya
hanyalah wajah yang tidak bermakna, yang akhirnya hanya bertindak berdasarkan
kebenaran agamanya dan inilah yang terjadi dengan beberapa kelompok massa di
Indonesia seperti FPI (Front Pembela Islam) yang menganggap kebenaran hanyalah
milik satu agama. Atau seperti kelompok teroris yang menganggab doktrin mereka
tidak pernah salah dan telah berada di jalan yang benar, sehingga membunuh
orang tidak berdosa pun menjadi halal bagi mereka. Apakah Etika itu? Sebelum
lebih jauh kita membahas tentang hubungan etika dan agama, atau mencari titik
temudiantara keduanya, maka ada baiknya kita memahami apa etika itu. Memahami
etika pertama-tama perlu untuk membedakannya dengan moral. Etika lebih pada
prinsip-prinsip dasar baik buruknya perilaku manusia, sedangkan moral untuk
menyebut aturan yang lebih kongkrit. Ibaratnya ajaran moral merupakan petunjuk
bagaimana kita harus bertindak sedangkan etika adalah bagaimana memberi
penilaian terhadap tindakan kita. A.Sudiarja SJ menyebut “etika sebagai
filsafat moral, karena objek pengamatannya adalah pandangan dan praksis moral.”
Sedangkan Sudarminta menyebut objek material etika adalah tingkah laku atau
tindakan manusia; sedangkan objek formalnya adalah segi baik buruknya atau
benar salahnya tindakan tersebut berdasarkan norma moral. Secara sederhana
etika dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari secara sistematis tentang
moralitas dan memberi penilaian terhadap tindakan moral. Meskipun demikian
etika dalam pandangan Magnis Suseno bahwa dia tidak mempunyai pretensi untuk
secara langsung dapat membuat manusia menjadi lebih baik. Dengan demikian etika
dapat juga dikatakan sebagai sebuah pandangan filosofis dalam melihat perilaku
manusia. Perilaku tersebut tercermin dalam tindakan moralnya. Sehingga
seseorang tidak perlu beretika untuk membuat tindakan moral. Moral merupakan
tindakan yang tidak terikat oleh apapun, termasuk agama. Orang bisa betindak
moral tanpa harus beragama dan sebaliknya orang beragama bisa bertindak amoral.
Masih adakah tindakan moral yang otonom? Sebuah pertanyaan yangmenjadi pergumulan
kita sekarang ini, benarkah ada tindakan moral yang tidak dipengaruhi oleh
sesuatu yang eksternal? Benarkah masih ada keberanian moral yang berdasarkan
suara hati? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang sulit dijawab, karena pada
kenyataannya situasinya menjadi berbeda, bahwa sebagian manusia bertindak
berdasarkan kebiasaan yang ada disekitarnya. Bertindak berdasarkan adat
istiadat,bertindak berdasarkan agama, bertindak berdasarkan kepentingan
politik, dan bertindak berdasarkan pergumulan sosial dll. Dalam pandangan
empirisme, maka dapat dikatakan tidak ada tindakan moral yang tidak dipengaruhi
oleh sesuatu yang eksternal. Tentu saya tidak ingin mempertentangkan empirisme
dan rasionalisme, serta tidak akan membahas terlalu jauh tentang tindakan moral,
karena saya hanya ingin melihat bagaimana etika dalam praksis kehidupan
manusia, serta bagaimana keterkaitannya dengan agama. Mengapa manusia beragama?
Pertanyaan yang sederhana tetapi sangat mendasar untuk lebih memahami mengapa
penting bicara tentang agama. Salah satu ciri khas manusia adalah dia mampu
berefleksi terhadap kehidupannya. Seperti yang diungkapkan Teilhard de Chardin
yang dikutip oleh Sastrapratedja bahwa “hewan mengetahui tetapi hanya manusia
mengetahui bahwa ia mengetahui” kesadaran diri adalah ciri manusia, karena itu
ia mampu berefleksi terhadap hidupnya. Ia mampu berefleksi terhadap kehidupan
religiositanya, karena itu tidak salah jika manusia kita sebut sebagai mahluk
religius. Sebagai mahluk religius, maka ia mencari yang transenden dalam
dirinya, dan manusia mendapatkan itu dalam nilai-nilai agama. Jika agama tidak
lagi mampu membuat manusia berefleksi terhadap hidupnya, maka agama pun
ditinggalkan oleh manusia dan manusia mulai mencari keberagamaannya dalam
bentuk yang berbeda. Agama memberi doktrin kebenaran yang tidak mungkin diubah
oleh manusia. Agama menganggapnya wahyu yang absolut, tetapi bisa ditafsirkan.
Karena itu ketika agama bersentuhan dengan etika, maka ajaran agama sebagai
yang absolut tidak mungkin diubah, tetapi dalam keabsolutannya etika mempunyai
peran untuk menjaga para penafsir untuk tidak menjadi bias. Dengan racionalitas
etika maka agama dapat dipahami dalam konteksnya. Untuk lebih memahami hubungan
antara keduanya maka akan jelas dalam penjelasan selanjutnya. Bagaimana
Hubungan Etika dan Agama Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa etika dan
agama adalah dua hal yang tidak harus dipertentangkan. Antara etika dan agama
adalah dua hal yang saling membutuhkan, atau dalam bahasa Sudiarja “agama dan
etika saling melengkapi satu sama lain”. Agama membutuhkan etika untuk secara
kritis melihat tindakan moral yang mungkin tidak rasional. Sedangkan etika
sendiri membutuhkan agama agar manusia tidak mengabaikan kepekaan rasa dalam
dirinya. Etika menjadi berbahaya ketika memutlakan racio, karena racio bisa
merelatifkan segala tindakan moral yang dilihatnya termasuk tindakan moral yang
ada pada agama tertentu. Hubungan etika dan agama akan membuat keseimbangan, di
mana agama bisa membantu etika untuk tidak bertindak hanya berdasarkan racio
dan melupakan kepekaan rasa dalam diri manusia, pun etika dapat membantu agama
untuk melihat secara kritis dan rasional tindakan –tindakan moral. Bahwa
kepelbagaian agama adalah salah satu hal yang membuat kita juga menjadi sadar
betapa pentingnya etika dalam kehidupan manusia. Tidak dapat kita bayangkan
bagaimana kehidupan manusia yang berbeda agama tanpa etika di dalamnya.
Kebenaran mungkin justru akan menjadi sangat relatif, karena kebenaran moral
hanya akan diukur dalam pandangan agama kita. Diluar agama kita maka tidak ada
kebenaran. Etika dapat dikatakan telah menjadi jembatan untuk mencoba
menghubungkan dan mendialogkan antara agama-agama. Kita dapat mengatakan bahwa
etika, secara filosofis menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan
agama-agama, khusunya bagi negara-negara yang majemuk seperti Indonesia. Etika
secara rasional membantu kita mampu untuk memahami dan secara kritis melihat
tindakan moral agama tertentu. Kita tidak mungkin menggunakan doktrin agama
kita untuk melihat dan menganalisis agama tertentu. Sebuah pertanyaan menarik
akan muncul, jika sekiranya agama hanya satu apakah dengan demikian etika tidak
lagi dibutuhkan? Karena agama tersebut akan menjadi moral yang mutlak dalam
kehidupan manusia. Kalau kita tetap memahami bahwa etika hadir untuk secara
rasional membantu manusia memahami tindakan moral yang dibuatnya, maka tentu
etika tetap menjadi penting dalam kehidupan manusia. Karena etika tidak akan
terikat pada apakah agama ada atau tidak etika akan tetap ada dalam hidup
manusia selama manusia masih menggunakan akal sehatnya dan racionya dalam
kehidupannya. Sekalipun manusia menjadi ateis, etika tetaplah dibutuhkan oleh
mereka yang tidak mengenal agama. Pertanyaan berikut yang akan muncul adalah
apakah cukup kita ber-etika tanpa ber-agama? Jika kita mencoba memahami secara
filosofis, maka dapat dikatakan bahwa etika tanpa agama adalah kering,
sebaliknya agama tanpa etika hambar. Bahwa manusia tidak hanya diciptakan
sebagai mahluk rasional, tetapi melekat dalam dirinya mahluk religius yang
membuat dia mampu berefleksi terhadap kehidupannya. Karena itu agama akan
membantu manusia untuk bertindak tidak hanya berdasarkan rasionya tetapi juga
berdasarkan rasa yang ada dalam dirinya. Satu kesatuan antara rasio dan rasa yang
melekat dalam diri manusia. Manusia bukanlah mahluk egois yang harus
mengandalkan rasionya semata-mata. Hubungan Agama dan etika dalam konteks etika
Global Sebuah pertanyaan menarik bagaimana etika Global melihat hubungan Agama
dan Etika. Jika melihat konsep yang disampaikan oleh Hans Kung dalam Etic
Global. Maka pertama–tama harus ada kesadaran setiap agama, bahwa dalam
perbedaan doktrin kita tetap mempunyai persamaan-persamaan etis yang bisa
mempersatukan. Untuk mempersatukan persamaan ini, maka etika mempunyai peran
sangat penting didalamnya. Bahkan bisa dikatakan bahwa ketika agama-agama
berbeda dalam doktrin, maka etika telah menjadi pemersatu. Perbedaan keyakinan
bisa terjadi pada setiap agama, tetapi rasio melalui etika telah menjadi sarana
dialog. Tidak dapat disangkal bahwa etika telah mempunyai peran sangat penting
dalam mencoba untuk mendialogkan agama-agama. Karena itu peran etika global
dalam konteks agama-agama, sangatlah dibutuhkan. Pun kita menyadari bahwa etika
tidak akan dapat menganti peran dari agama. Etika global seperti yang
disampaikan oleh Hans Kung bahwa dia tidak akan pernah menggantikan Taurat,
Khotbah di Bukit, Alquran, Bhagavadgita, Wacana dari Buddha atau para ungkapan
Konfusius. Etika global hanya mencoba mencari titik temu diantara
agama-agamadalam nilai-nilai tertentu dengan menggunakan pendekatan etika.
Dengan demikian keterhubungan etika dan agama dalam etika global sangat nampak
dalam pencarian nilai bersama dengan menggunakan nilai yang logis dan dapat
diterima oleh semua manusia. Kesimpulan dan Refleksi Dengan penjelasan dari
berbagai sudut pandang, maka dapat kita katakan bahwa hubungan etika dan agama
merupakan hubungan timbal balik yang saling membutuhkan. Etika tidak dapat
berjalan sendiri dengan rasionalitasnya, pun agama tidak dapat berjalan sendiri
dengan doktrinnya. Etika tanpa agama menjadi kering dan agama tanpa etika
menjadi hambar. Etika yang baik adalah etika yang memberi ruang terhadap
kepekaan rasa dan tidak hanya mengandalkan rasio dalam bertindak. Karena etika
seperti ini hanya akan mendatangkan sebuah kebenaran subjektif yang tidak
bernilai, dan cenderung melupakan hakekat manusia sebagai mahluk religius.
Kepekaan rasa itu terdapat dalam agama. Sebaliknya agama pun harus mengakui
pentingnya etika dalam kehidupan bersama. Bahwa tanpa etika maka agama-agama
akan sulit untuk mencari nilai bersama, karena masing-masing agama mempunyai
doktrin sendiri-sendiri. Karena itulah etika mempunyai peran besar dalam
agama-agama. Etika juga menjadi penting untuk memahami dan menilai tindakan
moral secara kritis dari setiap perilaku moral manusia baik itu moral
dasar,moral agama/etnis dan kesukuan , dan moral sosial. Sebagai mahluk
religius yang dimampukan berefleksi terhadap hidupnya, maka dia membutuhkan
racio untuk memahami kebenaran. Sebagai mahluk racional yang membedakannya dari
mahluk lain, maka dia membutuhkan spirit religiositas sehingga dia bertindak
berdasarkan rasa sehingga dia ada untuk kebaikan manusia dan tidak menjadi
mahluk yang egois yang melupakan eksistensi sosialnya. Serta tidak hanya
menjadi mahluk yang moralis atau humanis, tetapi benar-benar melekat dalam
dirinya sebagai mahluk religius dan racional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar