Kata
eksistensi berasal dari kata latin “existere”, dari “ex” yang berarti keluar
dan “sitere” yang berarti membuat berdiri. Artinya apa yang ada, apa yang
memiliki aktualitas, apa saja yang dialami. Konsep ini menekankan bahwa sesuatu
itu ada. Istilah “eksistensi” itu hanya dapat diterapkan pada manusia, atau
lebih tepat lagi pada individu konkret. Menurut eksistensialisme, hakekat manusia
terletak dalam eksistensi dan aktivitasnya. Aktivitas manusia merupakan
eksistensi dari dirinya dan hasil aktivitas yang dilakukan merupakan cermin
hakekat dirinya. Jadi, dari pengertian di atas pemakalah mendefinisikan
eksistensialisme ialah manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada
dan keberadaannya ditentukan oleh akunya.
Eksistensialisme
merupakan suatu gerakan protes terhadap beberapa hal. Pertama, pandangan yang
spekulatif. Contoh aliran idealisme yang salah satu pemikirnya ialah George
Wilhelm friedrich Hegel yang meremehkan eksistensi yang konkret karena Hegel
mengutamakan idea yang sifatnya umum. Hegel mengabstraksi segala sesuatu
menjadi sebuah sistem abstrak yang meremehkan manusia konkret atau individu
yang merupakan kenyataan adalah idea abstrak atau roh, dan bukan pengalaman
manusia individual. Dalam sistem abstrak itu bahkan kesadaran manusia konkret
hanyalah sebuah momen dalam dealetika roh. Bukan manusia yang sadar diri,
melainkan roh menyadari dirinya dalam manusia konkret itu. Dalam arti ini,
manusia konkret hanyalah alat bagi roh itu. Oleh karena itu juga, Hegel
memandang tinggi idea-idea yang semakin bersifat kolektif, sebab semakin
objektif sebuah idea semakin benar dan semakin real-lah idea itu. Yang makin
benar adalah kita, ras, zaman kita dan abad kita bukan aku atau pikiran ku.
Sedangkan menurut filsuf eksistensialisme Soren Aabye Kierkegaard keberatan
dengan sistem Hegel itu, Ia menyatakan Hegel sudah mereduksi manusia menjadi
kawanan yang anonim. Kemampuan subjektif manusia untuk mengambil keputusan yang
sangat pribadi dan berkomitmen dianggap tidak autentik dalam sistem itu, sebab
yang real itu, bukan individu melainkan roh yang menjadi semakin sadar diri
melalui individu itu. Dan menurut Kierkegaard, manusia tidak pernah hidup
sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual.
Kedua,
pandangan aliran materialisme, aliran ini mendefenisikan eksistensi ialah cara
orang berada di dunia. Kata berada pada manusia tidak sama dengan beradanya
pohon atau batu. Dalam pandangan materialisme, baik yang kolot maupun yang
modern, manusia itu pada akhirnya adalah sepertinya halnya kayu dan batu.
Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda
seperti batu dan kayu. Akan tetapi materialisme mengatakan bahwa pada akhirnya,
jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir, manusia
hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi, betul-betul materi.
Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi, batu, atau pohon,
tetapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi, pohon, dan batu.
Dilihat dari segi keberadaannya juga sama. Nah, di sinilah bagian ajaran
materialisme itu dihantam oleh eksistensialisme. Eksistensialisme menyatakan
bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di
dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia
berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari
dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dan mengerti yang
dihadapinya itu. Manusia mengerti pohon, batu, dan salah satu diantaranya ialah
ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa arti semua ini ? artinya ialah
bahwa manusia adalah subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar.
Barang-barang yang disadarinya itu disebut objek. Dari kedua pandangan di atas,
hal itulah yang merupakan pendorong lahirnya eksistensialisme.
Dari kedua
pandangan di atas menurut analisis pemakalah ialah pertama, idealisme Hegel
pada intinya mengatakan bahwa yang konkret itu ialah ide, sedangkan benda yang
tampak dalam hal ini manusia ialah penjelmaan dari idea itu sendiri, bukan yang
konkret. Dan “aku umum” yang di ungkapkan oleh Hegel ialah apa yang menurut
khalayak benar maka benarlah sesuatu itu dalam arti kata berdasarkan sesuatu
yang umum yang dalam hal ini bersifat kolektif. Sedangkan menurut
eksistensialisme keberadaan manusia itulah yang konkret dan idea yang dikatakan
Hegel merupakan hal yang tidak logis, nyata dan ilmiah. Serta jika berdasarkan
aku umum maka ada salah satu individu yang tidak bebas dalam menunjukkan
eksistensinya. Oleh karena itu, agar individu ini bebas maka aku individulah
(self individual) yang menetapkan segala sesuatu bukan berdasarkan keumuman.
Kedua, pandangan materialisme yang menyatakan bahwa manusia itu materi,
eksistensinya sama dengan materi, maka hal ini di tantang oleh
eksistensialisme, menurut eksistensialisme eksistensi manusia itu tidak
sama dengan materi, salah satu cermin
dari eksistensi manusia ialah ia mampu mengolah materi dan materi merupakan
penunjang dari eksistensi manusia.
Dengan
demikian, eksistensialisme pada hakekatnya adalah aliran filsafat yang
bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup
asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Aliran eksistensialisme sebagai suatu
penolakan terhadap suatu pemikiran yang abstrak. Yang menjadi ukuran dalam
sikap dan perbuatannya ialah kebebasan untuk freedom to do.
Pada fase
awal, Danish soren Kierkegaard (1813-1855) yang disebut sebagai tokoh pembuka
tabir gerakan eksistensialisme. Ia masih mewarnai corak pemikirannya denga
teologi. Nuasa teologis ini tampak ketika ia mengatakan bahwa setiap pribadi
membawa kepenuhan eksistensi manusiawinya sendiri. Kepenuhan eksistensi ini
terwujud pada keputusan bebas manusia. Disinilah letak kebebasan manusia. Di
dalam kebebasannya kebebasannya, manusia memiliki kemerdekaan dalam menetukan
ke mana dirinya akan melangkah dan melalui iman yang dimiliki manusia dapat
memantapkan dirinya dalam hadirat Tuhan. Kierkegaard mengawali pemikirannya
bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia yang
terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Pernyataan
ini kemudian dikembangkan, bahwa eksistensi manusia itu bukanlah statis tapi
senantiasa menjadi. Artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan
kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan maka gerak perkembangan ini
semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru
terjadi dalam kebebasannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia.
Bagi Kierkegaard bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang
menetukan bagi hidupnya, dan tetap bertanggung jawab atas hidupnya dan
keputusan-keputusannya tersebut. Konsekuensinya,
jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat maka kita
tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya. Dari hal ini, pemakalah menganalisis
bahwa manusia harus bergerak menurut kebebasannya; apa yang menurutnya dapat
menimbulkan kemerdekaan bagi dirinya maka itulah yang harus dijalankannya
dengan tidak melihat hal-hal yang dapat membuatnya terkekang dalam melaksanakan
perbuatan (norma-norma umum), dan bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukannya. Jika manusia melaksanakan sesuatu akan tetapi ia terkekang dengan
perbuatan itu maka itu belum dapat dikatakan manusia itu bereksistensi, karena
belum menurut kebebasannya. Dan iman yang dimiliki manusia akan senantiasa
menghadirkannya pada kehadirat Tuhan.
Namun,
ketika pada periode selanjutnya, muncul tokoh yang bernama Jean Paul Sartre
(1905-1981) dan Neitzhche (1844-1900), aliran eksistensialisme ini tampaknya
berkembang menjadi radikal dan ekstrim. Di bawah ini pemakalah memaparkan kedua
pemikiran filsuf eksistensialisme tersebut:
Pertama,
Sartre dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran
keagamaan. Manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya, lebih
lanjut Sartre mengatakan manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk
dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kebebasan pada manusia tidak dapat
dikurangi atau ditiadakan karena realitas manusia pada dasarnya adalah bebas
sepenuhnya.
Kedua,
Neitzhche. Pandangan ekstrem dari Neitzsche ini berawal dari keyakinannya bahwa
Tuhan telah mati, dengan kematian Tuhan terbukalah horizon seluas-luasnya bagi
segala energi kreatif untuk berkembang penuh. Tak ada lagi larangan dan
perintah. Neitzsche menyambut datangnya zaman itu sebagai zaman kretivitas dan
kemerdekaan, setiap orang harus setia kepada dunia ini, dan tidak usah percaya
akan adanya harapan-harapan di dunia seberang sana. Atas keyakinan ini pula
Neitzsche menganggap remeh dan benci pada sekelompok manusia yang berperan
hanya ikut arus dan hanya mengikuti pola-pola umum yang mengatur perilaku
mereka. Selanjutnya Neitzsche menjelaskan bahwa kemampuan manusia itu tidak
mendapat bantuan dari siapapun, tidak juga dari kekuatan yang disebut Tuhan.
Bahkan menurut Neitzsche dorongan nafsu bagi manusia sangat penting, ia
mengatakan biarkan nafsu seseorang itu berkembang leluasa. Antara nafsu dan
kehidupan rohani berdampingan tetapi saling bertentangan. Dorongan nafsu itu
berada di lapisan bawah sementara kehidupan rohani berada di lapisan atas.
Kehidupan rohani dapat mengarahkan lapisan bawah. Pencerminan lapisan atas itu
nampak dalam ajaran agama, norma dan moral. Penampilan lapisan bawah dapat
tenggelam dalam penampilan lapisan atas tetapi Neitzsche mengatakan justru
pengungkapan nafsu itu tidak lagi sempurna. Ia menambahkan biarkan lapisan
bawah itu berkembang sempurna.
Dalam
kaitan dengan konsep nafsu di atas, Neitzche memberikan konsep moralitas. Orang
yang sistem pikiran terkendali, tertindas, ketakutan akan perubahan, pasif
menerima otoritas dan tradisi merupakan orang yang bermoralitas budak.
Moralitas yang dibenci filsuf ini adalah moralitas yang mengatur manusia dalam
kriteria baik dan buruk. Menurut
Neitzsche pribadi yang ideal adalah orang yang bermoralitas tuan. Individu ini
nampak memiliki pemahaman diri dari dalam. Dunia ini tidak akan berarti jika di
huni manusia yang bermoral budak. Dan Neitzsche mengatakan bahwa umat manusia
sudah menderita mental budak ini. Ajaran agama, moral, norma tentang
kerendahhatian, belaskasih, kesalehan, rela menderita dan sebagainya sudah
memasuki masyarakat bagi Neitzsche itu adalah ajaran yang menyebabkan seseorang
itu bersikap pengecut dan memuakkan karena berlawanan dengan keunggulan
manusia. Seseorang itu hendaknya hidup berdasarkan nilai-nilai yang muncul dari
dirinya sendiri. Dengan demikian ia menjadi tuan atas ciptaannya sendiri.
Dari uraian tentang pemikiran Sartre
dan Neitzsche di atas analisis pemakalah ialah pemikiran Sartre dan Neitzsche
menafikan keagamaan, hal ini menunjukkan bahwa mereka merupakan filsuf yang
atheis dan kebebasan menurut mereka ialah hal yang segala-galanya, sebab dengan
kebebasan manusia mampu berkreatifitas bahkan jika dilakukan pengekangan
terhadap nafsu maka itu akan membuat individu itu tidak bebas dan menyiksa
dirinya sendiri, dan setiap nilai yang dipilih tergantung pada arah nafsu hidup
tadi. Dan dari uraian tentang pemikiran Neitzsche di atas dapat diungkapkan
bahwa suatu keyakinan bukan tergantung pada benar atau salahnya tetapi lebih
disebabkan apakah mengakui kehidupan atau tidak, artinya keyakinan itu berarti
jika mampu memberikan perasaan-perasaan kekuatan, daya dan kebebasan bagi
setiap orang.
Ada beberapa prinsip dari
aliran eksistensialisme, yakni sebagai berikut:
a.
Aliran
ini tidak mementingkan metafisika (Tuhan). Aliran ini memandang bahwa manusia
tidak diarahkan. Manusia yang menciptakan kehidupannya sendiri dan oleh sebab
itu manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas pilihan-pilihan yang dibuat.
Aliran ini memberikan pemahaman kepada individual, kebebasan dan penanggung
jawabannya.
b.
Pengetahuan
lebih merupakan suatu keadaan dan kecenderungan seseorang. Karena manusia tidak
tunduk terhadap apa yang ada di luar dirinya, maka nilai-nilai tidak dicari
dari luar diri melainkan dicari dalam diri manusia itu sendiri. Hal ini
disebabkan karena nilai itu hidup dalam dirinya. Oleh karena itu, apa yang
disebut baik atau buruk tergantung atas keyakinan pribadinya.
c.
Aliran
ini memandang individu dalam keadaan tunggal selama hidupnya dan individu hanya
mengenal dirinya dalam interaksi dirinya sendiri dengan kehidupan.
Menurut
analisis pemakalah prinsip-prinsip aliran eksistensialisme ini adalah
mengutamakan kebebasan dan tidak mengikuti norma-norma yang dapat mengekang
kebebasan, norma-norma yang dijadikan patokan dalam alliran ini ialah kehendak
diri itu sendiri yang dapat memberikan kebebasan dalam perbuatan. serta
bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilaksanakan.
Ada beberapa implementasi
eksistensialisme dalam pendidikan, diantaranya ialah:
a.
Aliran
ini mengutamakan perorangan atau individu. Dalam dataran pendidikan, aliran ini
menuntut adanya sistem pendidikan yang beraneka warna dan berbeda-beda, baik
metode pengajarannya maupun penusunan keahlian-keahlian.
b.
Aliran
filsafat ini memandang individu dalam keadaan tunggal selama hidupnya. Dalam
hal ini, individu hanya mengenal dirinya dalam interaksinya sendiri dengan
kehidupan.
c.
Aliran
filsafat ini percaya akan kemampuan ilmu untuk memecahkan semua persoalan.
Karena itu, murid berkewajiban untuk melakukan eksperimen dan pembahasan untuk
memungkinnya ikut secara nyata dalam setiap kedudukan yang dihadapinya, atau
dalam setiap masalah yang hendak dipecahkan.
d.
Aliran
ini tidak membatasi murid dengan buku-buku yang ditetapkan saja. Sebab, hal ini
membatasi kemampuan murid untuk mengenal pandangan lain yang bermacam-macam dan
berbeda-beda. Aliran ini mengutamakan pelajaran yang memungkinkan seseorang
mempunyai kemampuan yang besar, seperti ilmu musik, gambar, pahat/ukir, syair,
menulis dan berpidato, drama, cerita dan filsafat.
e.
Pandangan
aliran eksistensialisme tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris
dalam Existentialism and Education, bahwa eksistensialisme tidak menghendaki
adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu
eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana
yang ada sekarang.
Sedangkan
menurut Hamdani Ali, paham eksistensialisme menyatakan kebenaran itu tidak
terbatas, maka kurikulum, menurut mereka tidak bisa ditentukan. Tidak ada
bantahan bahwa adanya integritas dari mata pelajaran dan tidak ada bantahan
pula bahwa batas-batas dapat diletakkan pada tingkatan dimana pada titik
tertentu dalam perkembangan manusia bahan-bahan tertentu dapat sesuai, bahkan
jauh lebih essensial lagi, dan dalam kenyataannya sangat diperlukan, ialah
hubungan siswa dengan bahan studi yang dipelajari.
Golongan
eksistensialis memberikan tempat yang sentral kepada pelajaran-pelajaran
humaniora di dalam kurikulum – betapapun juga, bukanlah hanya untuk tujuan
analisa atau appresiasi, akan tetapi untuk menyingkapkan tentang sifat
sebenarnya dari wujud. Pelajaran humaniora haruslah menjadi pusat yang penting
bagi semua mata pelajaran, karena semua orang-orang eksistensialis melakukan
kreasi-kreasi literature dan artistik. Demikian pula kesenian dan kesusasteraan
harus diajarkan sebagai yang mewakili secara a priori sifat dari tenaga manusia
yang ditampilkan dengan cara yang abstrak, merupakan suatu jalan bagi para
siswa untuk membebaskan mereka dari pelajaran sejarah, dan mulai melaksanakan
bakatnya.
Dari
penjelasan di atas, analisis pemakalah ialah sistem pendidikan merupakan
keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan yang merupakan komponen ialah mencakup
dasar, tujuan, materi, metode, media, evaluasi dan sebagainya. Jadi yang
dimaksud dengan keberagaman sistem pendidikan menurut aliran eksistensialisme
ini ialah adanya keberagaman materi dan metode dalam melaksanakan pengajaran,
dari keberagaman inilah akan menampakkan secara nyata eksistensi setiap
individu. Jika semuanya sama maka akan sulit membedakan eksistensi dari setiap
individu. Dan materi pelajaran yang diberikan harus sesuai dengan perkembangan
manusia.
Mengenai
dasar, tujuan, tidak dapat ditetapkan dengan konkret karena jika ditetapkan
maka hal itu cenderung membuat kekangan bagi setiap pendidik dan peserta didik
sehingga tidak dapat memberikan kebebasan. Begitu juga dengan kurikulum yang
kita ketahui pokok pikiran penting yang biasa dalam kurikulum adalah tujuan
pendidikan, bahan pelajaran, pengalaman dan aspek perencanaan, hal ini jika
ditetapkan maka pendidik dan peserta didik memiliki ruang gerak yang terbatas
(tidak bebas), Sedangkan ukuran sikap dan perbuatan aliran eksistensialisme
ialah freedom to do. Dan juga peserta didik tidak di batasi dengan buku-buku
yang ditetapkan saja, hal ini bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada
peserta didik untuk mempelajari berbagai pengetahuan sehingga apabila akumulasi
pengetahuan sudah berada dalam benak peserta didik maka ia akan mudah untuk
menampakkan eksistensinya. Mengenai pendidik, sikap pendidik hendaknya
memberikan kemerdekaan kepada peserta didik dan membantunya menemukan sikap
bathinnya yaitu kesadaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar