Jumat, 23 Desember 2016

IMPLEMENTASI FILSAFAT EKSISTENSIALISME DALAM PENDIDIKAN

                              
Kata eksistensi berasal dari kata latin “existere”, dari “ex” yang berarti keluar dan “sitere” yang berarti membuat berdiri. Artinya apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa saja yang dialami. Konsep ini menekankan bahwa sesuatu itu ada. Istilah “eksistensi” itu hanya dapat diterapkan pada manusia, atau lebih tepat lagi pada individu konkret. Menurut eksistensialisme, hakekat manusia terletak dalam eksistensi dan aktivitasnya. Aktivitas manusia merupakan eksistensi dari dirinya dan hasil aktivitas yang dilakukan merupakan cermin hakekat dirinya. Jadi, dari pengertian di atas pemakalah mendefinisikan eksistensialisme ialah manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan keberadaannya ditentukan oleh akunya.
Eksistensialisme merupakan suatu gerakan protes terhadap beberapa hal. Pertama, pandangan yang spekulatif. Contoh aliran idealisme yang salah satu pemikirnya ialah George Wilhelm friedrich Hegel yang meremehkan eksistensi yang konkret karena Hegel mengutamakan idea yang sifatnya umum. Hegel mengabstraksi segala sesuatu menjadi sebuah sistem abstrak yang meremehkan manusia konkret atau individu yang merupakan kenyataan adalah idea abstrak atau roh, dan bukan pengalaman manusia individual. Dalam sistem abstrak itu bahkan kesadaran manusia konkret hanyalah sebuah momen dalam dealetika roh. Bukan manusia yang sadar diri, melainkan roh menyadari dirinya dalam manusia konkret itu. Dalam arti ini, manusia konkret hanyalah alat bagi roh itu. Oleh karena itu juga, Hegel memandang tinggi idea-idea yang semakin bersifat kolektif, sebab semakin objektif sebuah idea semakin benar dan semakin real-lah idea itu. Yang makin benar adalah kita, ras, zaman kita dan abad kita bukan aku atau pikiran ku. Sedangkan menurut filsuf eksistensialisme Soren Aabye Kierkegaard keberatan dengan sistem Hegel itu, Ia menyatakan Hegel sudah mereduksi manusia menjadi kawanan yang anonim. Kemampuan subjektif manusia untuk mengambil keputusan yang sangat pribadi dan berkomitmen dianggap tidak autentik dalam sistem itu, sebab yang real itu, bukan individu melainkan roh yang menjadi semakin sadar diri melalui individu itu. Dan menurut Kierkegaard, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual.
Kedua, pandangan aliran materialisme, aliran ini mendefenisikan eksistensi ialah cara orang berada di dunia. Kata berada pada manusia tidak sama dengan beradanya pohon atau batu. Dalam pandangan materialisme, baik yang kolot maupun yang modern, manusia itu pada akhirnya adalah sepertinya halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti batu dan kayu. Akan tetapi materialisme mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir, manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi, batu, atau pohon, tetapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi, pohon, dan batu. Dilihat dari segi keberadaannya juga sama. Nah, di sinilah bagian ajaran materialisme itu dihantam oleh eksistensialisme. Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti pohon, batu, dan salah satu diantaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa arti semua ini ? artinya ialah bahwa manusia adalah subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya itu disebut objek. Dari kedua pandangan di atas, hal itulah yang merupakan pendorong lahirnya eksistensialisme.
Dari kedua pandangan di atas menurut analisis pemakalah ialah pertama, idealisme Hegel pada intinya mengatakan bahwa yang konkret itu ialah ide, sedangkan benda yang tampak dalam hal ini manusia ialah penjelmaan dari idea itu sendiri, bukan yang konkret. Dan “aku umum” yang di ungkapkan oleh Hegel ialah apa yang menurut khalayak benar maka benarlah sesuatu itu dalam arti kata berdasarkan sesuatu yang umum yang dalam hal ini bersifat kolektif. Sedangkan menurut eksistensialisme keberadaan manusia itulah yang konkret dan idea yang dikatakan Hegel merupakan hal yang tidak logis, nyata dan ilmiah. Serta jika berdasarkan aku umum maka ada salah satu individu yang tidak bebas dalam menunjukkan eksistensinya. Oleh karena itu, agar individu ini bebas maka aku individulah (self individual) yang menetapkan segala sesuatu bukan berdasarkan keumuman. Kedua, pandangan materialisme yang menyatakan bahwa manusia itu materi, eksistensinya sama dengan materi, maka hal ini di tantang oleh eksistensialisme, menurut eksistensialisme eksistensi manusia itu tidak sama  dengan materi, salah satu cermin dari eksistensi manusia ialah ia mampu mengolah materi dan materi merupakan penunjang dari eksistensi manusia.
Dengan demikian, eksistensialisme pada hakekatnya adalah aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Aliran eksistensialisme sebagai suatu penolakan terhadap suatu pemikiran yang abstrak. Yang menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya ialah kebebasan untuk freedom to do.
Pada fase awal, Danish soren Kierkegaard (1813-1855) yang disebut sebagai tokoh pembuka tabir gerakan eksistensialisme. Ia masih mewarnai corak pemikirannya denga teologi. Nuasa teologis ini tampak ketika ia mengatakan bahwa setiap pribadi membawa kepenuhan eksistensi manusiawinya sendiri. Kepenuhan eksistensi ini terwujud pada keputusan bebas manusia. Disinilah letak kebebasan manusia. Di dalam kebebasannya kebebasannya, manusia memiliki kemerdekaan dalam menetukan ke mana dirinya akan melangkah dan melalui iman yang dimiliki manusia dapat memantapkan dirinya dalam hadirat Tuhan. Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Pernyataan ini kemudian dikembangkan, bahwa eksistensi manusia itu bukanlah statis tapi senantiasa menjadi. Artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Bagi Kierkegaard bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menetukan bagi hidupnya, dan tetap bertanggung jawab atas hidupnya dan keputusan-keputusannya tersebut.   Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya. Dari hal ini, pemakalah menganalisis bahwa manusia harus bergerak menurut kebebasannya; apa yang menurutnya dapat menimbulkan kemerdekaan bagi dirinya maka itulah yang harus dijalankannya dengan tidak melihat hal-hal yang dapat membuatnya terkekang dalam melaksanakan perbuatan (norma-norma umum), dan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Jika manusia melaksanakan sesuatu akan tetapi ia terkekang dengan perbuatan itu maka itu belum dapat dikatakan manusia itu bereksistensi, karena belum menurut kebebasannya. Dan iman yang dimiliki manusia akan senantiasa menghadirkannya pada kehadirat Tuhan.
Namun, ketika pada periode selanjutnya, muncul tokoh yang bernama Jean Paul Sartre (1905-1981) dan Neitzhche (1844-1900), aliran eksistensialisme ini tampaknya berkembang menjadi radikal dan ekstrim. Di bawah ini pemakalah memaparkan kedua pemikiran filsuf eksistensialisme tersebut: 
Pertama, Sartre dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan. Manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya, lebih lanjut Sartre mengatakan manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kebebasan pada manusia tidak dapat dikurangi atau ditiadakan karena realitas manusia pada dasarnya adalah bebas sepenuhnya.
Kedua, Neitzhche. Pandangan ekstrem dari Neitzsche ini berawal dari keyakinannya bahwa Tuhan telah mati, dengan kematian Tuhan terbukalah horizon seluas-luasnya bagi segala energi kreatif untuk berkembang penuh. Tak ada lagi larangan dan perintah. Neitzsche menyambut datangnya zaman itu sebagai zaman kretivitas dan kemerdekaan, setiap orang harus setia kepada dunia ini, dan tidak usah percaya akan adanya harapan-harapan di dunia seberang sana. Atas keyakinan ini pula Neitzsche menganggap remeh dan benci pada sekelompok manusia yang berperan hanya ikut arus dan hanya mengikuti pola-pola umum yang mengatur perilaku mereka. Selanjutnya Neitzsche menjelaskan bahwa kemampuan manusia itu tidak mendapat bantuan dari siapapun, tidak juga dari kekuatan yang disebut Tuhan. Bahkan menurut Neitzsche dorongan nafsu bagi manusia sangat penting, ia mengatakan biarkan nafsu seseorang itu berkembang leluasa. Antara nafsu dan kehidupan rohani berdampingan tetapi saling bertentangan. Dorongan nafsu itu berada di lapisan bawah sementara kehidupan rohani berada di lapisan atas. Kehidupan rohani dapat mengarahkan lapisan bawah. Pencerminan lapisan atas itu nampak dalam ajaran agama, norma dan moral. Penampilan lapisan bawah dapat tenggelam dalam penampilan lapisan atas tetapi Neitzsche mengatakan justru pengungkapan nafsu itu tidak lagi sempurna. Ia menambahkan biarkan lapisan bawah itu berkembang sempurna.
Dalam kaitan dengan konsep nafsu di atas, Neitzche memberikan konsep moralitas. Orang yang sistem pikiran terkendali, tertindas, ketakutan akan perubahan, pasif menerima otoritas dan tradisi merupakan orang yang bermoralitas budak. Moralitas yang dibenci filsuf ini adalah moralitas yang mengatur manusia dalam kriteria baik dan buruk.  Menurut Neitzsche pribadi yang ideal adalah orang yang bermoralitas tuan. Individu ini nampak memiliki pemahaman diri dari dalam. Dunia ini tidak akan berarti jika di huni manusia yang bermoral budak. Dan Neitzsche mengatakan bahwa umat manusia sudah menderita mental budak ini. Ajaran agama, moral, norma tentang kerendahhatian, belaskasih, kesalehan, rela menderita dan sebagainya sudah memasuki masyarakat bagi Neitzsche itu adalah ajaran yang menyebabkan seseorang itu bersikap pengecut dan memuakkan karena berlawanan dengan keunggulan manusia. Seseorang itu hendaknya hidup berdasarkan nilai-nilai yang muncul dari dirinya sendiri. Dengan demikian ia menjadi tuan atas ciptaannya sendiri.
            Dari uraian tentang pemikiran Sartre dan Neitzsche di atas analisis pemakalah ialah pemikiran Sartre dan Neitzsche menafikan keagamaan, hal ini menunjukkan bahwa mereka merupakan filsuf yang atheis dan kebebasan menurut mereka ialah hal yang segala-galanya, sebab dengan kebebasan manusia mampu berkreatifitas bahkan jika dilakukan pengekangan terhadap nafsu maka itu akan membuat individu itu tidak bebas dan menyiksa dirinya sendiri, dan setiap nilai yang dipilih tergantung pada arah nafsu hidup tadi. Dan dari uraian tentang pemikiran Neitzsche di atas dapat diungkapkan bahwa suatu keyakinan bukan tergantung pada benar atau salahnya tetapi lebih disebabkan apakah mengakui kehidupan atau tidak, artinya keyakinan itu berarti jika mampu memberikan perasaan-perasaan kekuatan, daya dan kebebasan bagi setiap orang.
Ada beberapa prinsip dari aliran eksistensialisme, yakni sebagai berikut:
a.      Aliran ini tidak mementingkan metafisika (Tuhan). Aliran ini memandang bahwa manusia tidak diarahkan. Manusia yang menciptakan kehidupannya sendiri dan oleh sebab itu manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas pilihan-pilihan yang dibuat. Aliran ini memberikan pemahaman kepada individual, kebebasan dan penanggung jawabannya.
b.     Pengetahuan lebih merupakan suatu keadaan dan kecenderungan seseorang. Karena manusia tidak tunduk terhadap apa yang ada di luar dirinya, maka nilai-nilai tidak dicari dari luar diri melainkan dicari dalam diri manusia itu sendiri. Hal ini disebabkan karena nilai itu hidup dalam dirinya. Oleh karena itu, apa yang disebut baik atau buruk tergantung atas keyakinan pribadinya.
c.     Aliran ini memandang individu dalam keadaan tunggal selama hidupnya dan individu hanya mengenal dirinya dalam interaksi dirinya sendiri dengan kehidupan.
Menurut analisis pemakalah prinsip-prinsip aliran eksistensialisme ini adalah mengutamakan kebebasan dan tidak mengikuti norma-norma yang dapat mengekang kebebasan, norma-norma yang dijadikan patokan dalam alliran ini ialah kehendak diri itu sendiri yang dapat memberikan kebebasan dalam perbuatan. serta bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilaksanakan.
Ada beberapa implementasi eksistensialisme dalam pendidikan, diantaranya ialah:
a.    Aliran ini mengutamakan perorangan atau individu. Dalam dataran pendidikan, aliran ini menuntut adanya sistem pendidikan yang beraneka warna dan berbeda-beda, baik metode pengajarannya maupun penusunan keahlian-keahlian.
b.    Aliran filsafat ini memandang individu dalam keadaan tunggal selama hidupnya. Dalam hal ini, individu hanya mengenal dirinya dalam interaksinya sendiri dengan kehidupan.
c.    Aliran filsafat ini percaya akan kemampuan ilmu untuk memecahkan semua persoalan. Karena itu, murid berkewajiban untuk melakukan eksperimen dan pembahasan untuk memungkinnya ikut secara nyata dalam setiap kedudukan yang dihadapinya, atau dalam setiap masalah yang hendak dipecahkan.
d.    Aliran ini tidak membatasi murid dengan buku-buku yang ditetapkan saja. Sebab, hal ini membatasi kemampuan murid untuk mengenal pandangan lain yang bermacam-macam dan berbeda-beda. Aliran ini mengutamakan pelajaran yang memungkinkan seseorang mempunyai kemampuan yang besar, seperti ilmu musik, gambar, pahat/ukir, syair, menulis dan berpidato, drama, cerita dan filsafat.
e.    Pandangan aliran eksistensialisme tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam Existentialism and Education, bahwa eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang.
Sedangkan menurut Hamdani Ali, paham eksistensialisme menyatakan kebenaran itu tidak terbatas, maka kurikulum, menurut mereka tidak bisa ditentukan. Tidak ada bantahan bahwa adanya integritas dari mata pelajaran dan tidak ada bantahan pula bahwa batas-batas dapat diletakkan pada tingkatan dimana pada titik tertentu dalam perkembangan manusia bahan-bahan tertentu dapat sesuai, bahkan jauh lebih essensial lagi, dan dalam kenyataannya sangat diperlukan, ialah hubungan siswa dengan bahan studi yang dipelajari.
Golongan eksistensialis memberikan tempat yang sentral kepada pelajaran-pelajaran humaniora di dalam kurikulum – betapapun juga, bukanlah hanya untuk tujuan analisa atau appresiasi, akan tetapi untuk menyingkapkan tentang sifat sebenarnya dari wujud. Pelajaran humaniora haruslah menjadi pusat yang penting bagi semua mata pelajaran, karena semua orang-orang eksistensialis melakukan kreasi-kreasi literature dan artistik. Demikian pula kesenian dan kesusasteraan harus diajarkan sebagai yang mewakili secara a priori sifat dari tenaga manusia yang ditampilkan dengan cara yang abstrak, merupakan suatu jalan bagi para siswa untuk membebaskan mereka dari pelajaran sejarah, dan mulai melaksanakan bakatnya.
Dari penjelasan di atas, analisis pemakalah ialah sistem pendidikan merupakan keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan yang merupakan komponen ialah mencakup dasar, tujuan, materi, metode, media, evaluasi dan sebagainya. Jadi yang dimaksud dengan keberagaman sistem pendidikan menurut aliran eksistensialisme ini ialah adanya keberagaman materi dan metode dalam melaksanakan pengajaran, dari keberagaman inilah akan menampakkan secara nyata eksistensi setiap individu. Jika semuanya sama maka akan sulit membedakan eksistensi dari setiap individu. Dan materi pelajaran yang diberikan harus sesuai dengan perkembangan manusia.
Mengenai dasar, tujuan, tidak dapat ditetapkan dengan konkret karena jika ditetapkan maka hal itu cenderung membuat kekangan bagi setiap pendidik dan peserta didik sehingga tidak dapat memberikan kebebasan. Begitu juga dengan kurikulum yang kita ketahui pokok pikiran penting yang biasa dalam kurikulum adalah tujuan pendidikan, bahan pelajaran, pengalaman dan aspek perencanaan, hal ini jika ditetapkan maka pendidik dan peserta didik memiliki ruang gerak yang terbatas (tidak bebas), Sedangkan ukuran sikap dan perbuatan aliran eksistensialisme ialah freedom to do. Dan juga peserta didik tidak di batasi dengan buku-buku yang ditetapkan saja, hal ini bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mempelajari berbagai pengetahuan sehingga apabila akumulasi pengetahuan sudah berada dalam benak peserta didik maka ia akan mudah untuk menampakkan eksistensinya. Mengenai pendidik, sikap pendidik hendaknya memberikan kemerdekaan kepada peserta didik dan membantunya menemukan sikap bathinnya yaitu kesadaran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar