Dapatkah dendam, sakit hati, perasaan
marah, kebencian, iri hati, keserakahan, rasa takut, dan sebagainya dapat
lenyap dari batin, dengan jalan melarikan diri dari semua itu atau dengan jalan
menekannya? Hal ini penting sekali bagi kita untuk menyelidikinya dan
mempelajarinya karena dalam kehidupan kita setiap hari tentu ada saja satu di
antara nafsu-nafsu itu muncul di dalam hati kita. Mungkinkah kita terbebas dari
semua nafsu itu dengan daya upaya kita?
Dari mana timbulnya nafsu-nafsu seperti
dendam, kebencian, marah, iri, serakah, takut dan sebagainya itu? Semua itu
timbul dari adanya pikiran yang membentuk si aku dengan keinginannya untuk
mengejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Karena si aku ini merasa diganggu,
dirugikan baik lahir maupun batin, maka timbullah kemarahan, kebencian dan
sebagainya. Karena si aku ini ingin mengejar kesenangan, maka lahirlah
keserakahan, iri hati dan sebagainya.
Setelah muncul kemarahan, dari pengalaman
atau dari penuturan orang lain, si aku melihat bahwa kemarahan itu tidak akan
menguntungkan. Maka timbullah keinginan lain lagi, yaitu keinginan untuk
melenyapkan kemarahan! Jelas bahwa yang marah dan yang ingin bebas dari
kemarahan itu masih yang itu-itu juga, masih si aku yang ingin senang karena
ingin bebas dari kemarahan itupun pada hakekatnya hanya si aku ingin senang,
menganggap bahwa bebas marah itu senang atau menyenangkan! Jadi, si marah
adalah aku sendiri, dia yang ingin bebas marahpun aku sendiri. Bermacam daya
upaya dilakukannya oleh kita untuk bebas dari kemarahan atau kebencian dan
sebagainya. Ada yang melarikan diri dari kenyataan itu dengan cara menghibur
diri, minum arak sampai mabuk, bersenang-senang sampai mabuk atau mengasingkan
diri di tempat sunyi. Ada pula yang mempergunakan kekuatan kemauan untuk
menghimpit dan menekan kemarahan yang timbul itu, pendeknya, segala macam daya
upaya dilakukan orang untuk membebaskan diri daripada kenyataan, yaitu amarah
itu.
Bagaimana hasilnya? Memang nampaknya
berhasil, nampak dari luar memang berhasil. Yang marah itu tidak marah lagi
oleh penekanan kemauan atau oleh hiburan. Akan tetapi, tak mungkin melenyapkan
penyakit dengan hanya menggosok-gosok agar nyerinya berkurang atau lenyap.
Karena penyakitnya masih ada, maka rasa nyeri itupun tentu akan timbul kembali!
Demikian pula dengan kemarahan, kebencian dan sebagainya. Memang dengan
penekanan atau hiburan, kemarahan itu seolah-olah pada lahirnya sudah lenyap,
api kemarahan itu seolah-olah sudah padam. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah
demikian! Api itu masih membara, seperti api dalam sekam, di luarnya tidak
nampak bernyala namun di sebelah dalamnya membara masih ada dan sewaktu-waktu
akan berkobar lagi. Karena itulah, tercipta lingkaran setan pada diri kita.
Marah, disabarkan atau ditekan lagi, marah lagi, ditekan lagi dan seterusnya
selama kita hidup!
Mengapa kita tidak hadapi secara langsung
segala yang timbul itu? Di waktu timbul marah, timbul benci, timbul iri, timbul
takut dan sebagainya. Mengapa, kita lari? Mengapa kita tidak menanggulanginya
secara langsung, mengamatinya, menyelidiki dan mempelajarinya secara langsung?
Mengapa kita tidak membuka mata dan waspada, penuh kesadaran akan semua itu?
Kalau marah timbul dan kita membuka mata penuh kewaspadaan, mengamatinya tanpa
ada akal bulus si aku yang ingin merubah, ingin sabar dan sebagainya seperti
itu, kalau yang ada hanya kewaspdaan saja, pengamatan saja, maka apakah akan
terjadi dengan kemarahan yang timbul itu? Cobalah! Segala pengertian itu tanpa
guna kalau tidak disertai penghayatan! Pengertian berarti penghayatan! Tanpa
penghayatan maka pengertian itu hanya menjadi pengetahuan kosong belaka, hanya
akan menjadi teori-teori usang yang pantasnya hanya disimpan di lemari lapuk
untuk hiasan belaka, tidak ada manfaatnya bagi kehidupan. Nah, kalau ada timbul
marah, benci, takut dan sebagainya, kita hadapi dan kita buka mata mengamatinya
dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan kesadaran.
Kemarahan dan dendam timbul karena adanya
sang pikiran, si aku yang tersinggung atau dirugikan. Kalau tidak ada si aku
yang merasa dirugikan, apakah ada kemarahan itu? Hanya pengamatan dengan penuh
kewaspadaan yang akan mendatangkan pengertian yang berarti penghayatan pula,
melahirkan tanggapan-tanggapan spontan seketika. Dan pengertian dari pengamatan
ini yang akan meniadakan marah atau dendam. Dan tidak adanya marah atau dendam
mendekatkan kita kepada kebebasan dan cinta kasih. Dan kalau sudah begitu tidak
perlu lagi belajar sabar!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar