Selasa, 13 Desember 2016

Pertumbuhan dan perkembangan filsafat islam


Wilayah Timur dari pusat pengkajian kebudayaan tepatnya di kota Antioch di Suriah banyak menjadi tempat pelarian para pemikir sebagai efek terjadinya peperangan di Laut Tengah. Di Antioch terdapat sebuah sekolah bernama Edessa yang merupakan pusat dari pengembangan pemikiran Yunani yang eksistensinya dapat terjaga sampai abad VII. Di Kota Edessa terdapat sebuah wilayah bernama Harran yang menjadi wadah untuk menyebarkan ilmu-ilmu Yunani bagi orang-oprang Arab. Sedangkan perkembangan di wilayah Timur yang lain, yaitu Jundisyapur juga menjadi tempat pelarian bagi para filsuf Yunani karena wilayah Edessa ditutup atas perintah dari Kaisar Byzantium karena dinilai bertentangan dengan ajaran kristen. Jadi. Kegiatan filsafat berpindah dari Yunani ke Jundisyapur, dan dimulailah penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa Persia. Pada masa Khulafa Rasyidun Filsafat Yunani memang belum dapat berkembang karena masih terfokus pada ekspansi. Begitu pula pada masa Umayyah, terlebih lagi Umayyah justru banyak mendominasi kebudayaan Arabnya. Namun, pada masa Umayyah sebenarnya sudah ada upaya penerjemahan, tapi tidak dapat berkembang dan berjalan karena lebih fokus pada politik. Pada masa Ummayah sudah ada upaya untuk melakukan penerjemahan buku yang disponsori Khalifah Khalid ibn Yazid, buku yang diterjemahkan berkaitan dengan keperluan hidup praktis, seperti kimia. Kemudian masa Umar ibn Abd al-Aziz juga melakukan penerjemahan buku-buku kedokteran, kimia, dan geometri. Riwayat lain mengatakan penerjemahan dimulai masa Khalifah Marwan ibn Hakam tentang ilmu kedokteran. Lalu di simpan di perpustakaan negara sampai Umar ibn Abdul Aziz naik tahta.

Golongan yang banyak tertarik kepada Filsafat Yunani adalah kaum Mu’tazilah, Abu al-Huzail, al-Nazzam, al-Jahiz, al-Jubba’i yang pengaruhnya dapat dilihat dari pemikiran-pemikiran teologi mereka. Filsafat Yunani baru mendapat perhatian pada masa Abbasiyah. Terlebih lagi pusat pemerintahan dipegang oleh orang-orang Persia, seperti keluarga Baramikah yang sudah lebih dulu mempelajari kebudayaan Yunani.[16]Tepatnya pada masa al-Ma’mun. Pada masanya penerjemahan benar-benar dilakukan secara serius dan besar-besaran. Al-Ma’mun dikenal sebagai orang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Dalam upayanya melakukan penerjemahan, ia mengutus utusan keseluruh Byzantium untuk mencari naskah atau buku-buku mengenai ilmu apa saja untuk dibawa ke Baghdad. Termasuk karya Aristoteles dan Plato. Penerjemahan tidak hanya menerjemahkan bahasa Yunani, tetapi juga berbahasa Persia dan bahasa Suryani.

Al-Ma’mun mendirikan Bait al-Hikmah sebagai wadah untuk penerjemahan yang dipimpin oleh Hunain Ibn Ishak, ia merupakan orang Nasrani yang ahli bahasa Yunani, ia dibantu oleh Yahya ibn Masawaih, Sabit ibn Qurra, Qusta ibn Lukas al-Ba’labaki, Ishaq ibn Hunain, dan lain-lain. Bait al-Hikmah tidak saja menjadi penerjemah, tapi juga sebagai pusat pengembangan filsafat dan sains. Pusat pengembangan ilmu pengetahuan tidak hanya di Baghdad, tetapi juga di kota Marwa (Persia Tengah) (menerjemahkan buku dalam bidang matematika dan astronomi), Jundisyapur (menerjemahkan buku yang menyangkut obat-obatan dan kedokteran) dan Haran (menerjemahkan buku filsafat dan kedokteran).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar