Sebelumnya
saya ingin bertanya,ada nggak sih di antara kalian yang di zaman modern ini
masih memiliki celengan (tempat menabung), entah yang terbuat dari plastik atau
tanah liat (lempung)?.
Waktu kecil tentu kita sudah diajarkan
orang tua untuk membeli celengan dan menyisihkan sisa uang saku di celengan,
entah 100 perak atau 500 perak yang penting masuk ke dalam celengan. Ada
perasaan bahagia ketika celengan kita semakin berat, berat karena isi di
dalamnya kebanyakan koin. Kalau saya sedang ingin membeli sesuatu tetapi tidak
mungkin minta kepada orang tua, celengan adalah tempat “mengadu”. Ada perasaan
berat kala itu jika celengan harus dibuka/dipecahkan, tetapi karena kebutuhan
mendesak alhasil saya mengorek-ngorek isinya dari lubang di atas dan
mendapatkan beberapa koin, lumayan :D Semakin dewasa kebanyakan dari kita pasti
mengalihkan sarana menabungnya kepada bank alias mempunyai rekening tabungan.
Bank menawarkan 2 hal kepada kita: tabungan yang aman dan ber-bunga sehingga
celengan mulai ditinggalkan. Entah mengapa di tahun 2011 saya ingin kembali
mempunyai celengan terutama dari tanah liat. Sempat keliling keluar masuk pasar
dan saya menemukan satu bentuk celengan yang menarik, celengan berbentuk ayam
yang rupa dan catnya sangat menarik, harga Rp10.000,- (dari Rp15.000,-).
Sebetulnya, dari bentuknya yang sederhana
celengan mempunyai kelebihan yang tidak dipunyai bank, yaitu; Fleksibilitas
(dalam pengambilan dan memasukkan uang). Kalau bank, ketika ingin memasukkan
uang/menyetor kita mesti mengisi slip setoran dan antri, yang pake mobile
banking keluar pulsa dan administrasi ke bank, begitupun sebaliknya jika ingin
mengambil uang. Kalau celengan? Setiap detik ia menyediakan dirinya untuk uang
kita, berapapun nominal uang kita. Tanpa sapaan dan kata baku yang diucapkan
oleh petugas bank, ia (celengan) sudah menydiakan diri bagi untuk dipakai kapan
saja. Dulu saya mengkhususkan celengan ini kelak akan mampu membiayai berlibur
ke Raja Ampat, meskipun setiap harinya saya berusaha menyisihkan Rp2000,- untuk
dimasukkan ke celengan, kadang-kadang bisa menyisahkan uang Rp100.000,-. Pasang
target sengaja tinggi biar semangat untuk menyisihkan selalu ada, tidak peduli
bisa terwujud atau enggak. Sampai tiba berita bahwa Tim Inter Milan akan
mengadakan tur ke Indonesia pada bulan Mei, berita yang tidak saya sangka.
Dalam pikiran, mau seberapa besar harga tiket pokoknya harus dapat VIP. Eh
taunya tiket VIP di luar hitungan, 6x lipat dari harga kelas 1 yang
Rp500.000,-. Alhasil beli tiket kelas 1 saja dan celengan ayam dengan berat
hati mesti dipecahkan. Harapan celengan ayam yang bisa membiayai liburan ke
Raja Ampat semakin jauh dan saya mulai lagi mencari celengan tanah liat. Ketika
mencari di Pasar Suci, orang berkomentar “mana ada yang jual celengan dari
tanah liat, sekarang banyaknya plastik mas” tapi toh nyatanya celengan tanah
liat masih bisa saya dapatkan. Filosofi kesederhanaan celengan tanah liat yang
lain adalah bentuk dan cat-nya. Hal yang mungkin tidak di dapatkan pada
celengan kaleng atau plastik. Tangan-tangan pembuat celengan tanah liat adalah
tangan yang special; membentuk detail paruh si ayam atau membentuk tubuh katak
dan mengecat bagian tersebut dengan telaten dan sabar, hingga mengeringkannya
di terik matahari sampai bentuk bermacam-macam hewan sempurna tampilannya.
Alat- alat tradisional yang mungkin masih digunakkan turun-temurun semakin
menguatkan bahwa celengan tanah liat adalah simbol kesederhanaan. Ia ada setiap
detiknya bagi kita, ia tidak akan pernah mengenakan biaya administrasi kepada
kita bahkan ia rela menyerahkan “tubuhnya” dihancurkan untuk kemudian diambil
isinya. Terakhir, percaya atau tidak kesederhanaan sebuah celengan dapat
memberikan kita semacam sugesti agar kita giat mengisinya karena dengan cara
itulah, sebuah celengan merasa ia diperhatikan dan dirawat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar