Jumat, 23 Desember 2016

Konsep Psikologi mengenai Gender


Gender [para psikolog] di definisikan sebagai suatu gambaran sifat, sikap dan perilaku laki-laki dan perempuan (Sahrah, 1996). Suatu kepribadian dan perilaku yang dibedakan atas tipe maskulin dan feminin (Whitley dan Bernard dalam Kuwato, 1992), seperangkat peran gender tentang seperti apa seharusnya dan bagaimana seharusnya dilakukan, dirasakan dan dipikirkan oleh individu sebagai maskulin dan feminin (Santrock, 1998., Berry, dkk., 1999). Menurut Sandra Bem (1981a), tokoh sentral psikologi gender, gender merupakan karakteristik kepribadian, seseorang yang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya. Bem (1981a) mengelompokkannya menjadi 4 klasifikasi yaitu maskulin, feminin, androgini dan tak terbedakan. Masing-masing klasifikasi tersebut memiliki karakteristik tersendiri, yang mempengaruhi perilaku seorang individu, individu dengan peran gender feminin misalnya berbeda perilaku prososialnya dengan realitas kehidupan sosial bila dibandingkan dengan peran gender maskulin, hal ini disebabkan karena individu dengan peran gender feminin memiliki karakteristik seperti: hangat dalan hubungan interpersonal, suka berafiliasi, kompromistik, sensitif terhadap keberadaan orang (Pendhazur dan Teenbaum, 1979), suka merasa kasihan, senang pada kehidupan kelompok (Sahrah, 1996), sebaliknya maskulin, yaitu kurang hangat dan kurang dapat mengekspresikan kehangatan, kurang responsif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan emosi (Bakan dalam Sahrah, 1996). Individu yang memiliki peran gender androgini memiliki tingkat kemandirian lebih tinggi dibandingkan dengan peran gender lainnya (Nuryoto, 1992).
Setiap kebudayaan menurut Santrock (1998), dan Berry (1999) mendefinisikan peran gender dari berbagai tugas, aktivitas, sifat kepribadian yang dianggapnya pantas bagi seorang individu (laki-laki dan perempuan). Sebelum pertengahan tahun 70-an gender diartikan sebagai suatu gambaran dari tingkah laku dan sikap-sikap yang secara umum telah disetujui seseorang sebagai suatu yang maskulin atau feminine saja. Laki-laki diharapkan selalu mempunyai sifat maskulin sedang perempuan mempunyai sifat feminin. Sedangkan Bem Sex Role Inventory (BSRI) mengenalkan peran gender androgini.

Teori Pembentukan Peran Gender   

Teori Biologis.
Perbedaan peran gender ada hubungannya dengan aspek biologis, bahkan tidak lepas dari pengaruh perbedaan biologis (sex) laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis laki-laki dan perempuan adalah alami (nature), begitu pula sifat peran gender (maskulin dan feminin) yang dibentuknya. Perbedaan biologis menyebabkan terjadinya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, sifat stereotype peran gender antaara lakki-laki dan perempuan sulit untuk dirubah. Perbedaan fisik antara laki-lakidan perempuan memberikan implikasi yang signifikan pada kehidupan publik perempuan, sehingga perempuan lebih sedikit perannya dibanding laki-laki (Megawangi, 2001)

Teori Kultural.
embentukan peran gender bukan disebabkan oleh adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, melainkan karena adanya sosialisasi atau kulturalisasi. Teori ini tidak mengakui adanya sifat alami peran gender (nature), tetapi yang ada adalah sifat peran gender yang dikonstruksi oleh sosial budaya melalui proses sosialisasi. Teori ini membedakan antara jenis kelamin (sex) konsep nature, dan gender konsep nurture. Sesuatu yang nature tidak dapat berubah, sedangkan peran gender dapat diubah baik melalui budaya maupun dengan teknologi. Pandangan teori ini dianut oleh sebagian besar feminis yang menginginkan transformasi sosial, sehingga perbedaan atau dikotomi peran gender laki-laki dan perempuan dapat ditiadakan (Megawangi, 2001)

 Teori Freudian.
Menurut teori ini, anak belajar tentang peran gender dari lingkungan sekitarnya, karena anak mengidentifikasikan perlakuan orang tuanya. Anak laki-laki mengidentifikasi perlakuan ayahnya sehingga bagaimana perilaku seorang laki-laki. Demikian halnya anak perempuan yang belajar dari ibunya. Proses pengidentifikasian ini ditemukan anak dari perbedaan genital jenis kelamin.

Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial meletakkan sumber sex typing pada latihan membedakan jenis kelamin dalam komunitas masyarakat, keutamaan dari teori ini adalah mengimplikasikan perkembangan psikologi laki-laki dan perempuan mempunyai prinsip umum sama dengan proses belajar pada umumnya. Jadi, jenis kelamin (seks) tidak dipertimbangkan istimewa; tidak ada mekanisme atau proses psikologis khusus yang harus dipostulasikan dalam menjelaskan bagaimana anak-anak menjadi sex typed. Karena telah termasuk penjelasan bagaimana anak-anak belajar perilaku sosial yang lain. Teori ini memperlakukan anak sebagai agen aktif yang berusaha mengorganisasikan & memahami dunia sosialnya.

Teori Perkembangan Kognitif.
Individu sebagai organisme aktif, dinamis serta memiliki kemauan berpikir. Individu mampu dan berhak membuat pertimbangan dan keputusan sesuai dengan kemauan dan kemampuannya sendiri. Sex typing mengikuti prinsip natural dan tidak dapat dihindari dari perkembangan kognisi. Individu bekerja aktif memahami dunia sosial mereka, dan akan melakukan kategorisasi terhadap dirinya sendiri (self-categorization) sebagai laki-laki dan prempuan. Dasar kategorisasi diri ini yang menentukan penilaian dasar. Seorang laki-laki misalnya akan stabil mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai laki-laki, kemudian ia akan menilai objek-objek yang berkenaan dengan jenis kelaminnya secara positif dan bertindak secara konsisten dengan identitas jenis kelaminnya.

Teori Skema Gender.
Teori ini(Bem, 1974), merupakan kombinasi dari teori belajar sosial dan teori perkembangan kognitif. Pengaruh lingkungan sosial dan peran individu keduanya dipadukan dalam pembentukan peran gender melalui skema gender. Teori skema gender berasumsi bahwa sex typing adalah fenomena yang dipelajari, oleh karena itu dapat dihindari atau dimodifikasi.
Dengan demikian skema gender merupakan sejumlah persepsi (kognisi) dan proses belajar individu terhadap atribut-atribut dan perilaku yang sesuai jenis kelaminnya atau menurut label yang diberikan komunitas sosial atau kebudayaan kepadanya (Bem, 1981b).

Dengan teori ini dapat pula diketahui bahwa jenis kelamin tidak selalu berhubungan dengan peran gendernya. Kebudayaanlah yang membuat gender yang menjadi kognisi penting di antara berbagai kategori sosial yang ada (ras, etnik, dan religiusitas). Mayoritas kebudayaan mengajarkan perkembangan individu yaitu: pertama, mengajarkan jaringan subtansi dari asosiasi-asosiasi yang dapat dilayani sebagai skema kognisi; kedua, mengajarkan dikotomi tertentu tentang laki-laki dan perempuan secara intensif dan ekstensif dalam setiap daerah pengalaman manusia. Manusia menunjukkan pentingnya fungsi perbedaan gender sebagai dasar perbedaan adanya norma, tabu dan susunan kelembagaan (Bem,1981a).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar