Gender [para psikolog] di definisikan sebagai
suatu gambaran sifat, sikap dan perilaku laki-laki dan perempuan (Sahrah,
1996). Suatu kepribadian dan perilaku yang dibedakan atas tipe maskulin dan
feminin (Whitley dan Bernard dalam Kuwato, 1992), seperangkat peran gender
tentang seperti apa seharusnya dan bagaimana seharusnya dilakukan, dirasakan
dan dipikirkan oleh individu sebagai maskulin dan feminin (Santrock, 1998.,
Berry, dkk., 1999). Menurut Sandra Bem (1981a), tokoh sentral psikologi gender,
gender merupakan karakteristik kepribadian, seseorang yang dipengaruhi oleh
peran gender yang dimilikinya. Bem (1981a) mengelompokkannya menjadi 4
klasifikasi yaitu maskulin, feminin, androgini dan tak terbedakan.
Masing-masing klasifikasi tersebut memiliki karakteristik tersendiri, yang
mempengaruhi perilaku seorang individu, individu dengan peran gender feminin
misalnya berbeda perilaku prososialnya dengan realitas kehidupan sosial bila
dibandingkan dengan peran gender maskulin, hal ini disebabkan karena individu
dengan peran gender feminin memiliki karakteristik seperti: hangat dalan
hubungan interpersonal, suka berafiliasi, kompromistik, sensitif terhadap
keberadaan orang (Pendhazur dan Teenbaum, 1979), suka merasa kasihan, senang
pada kehidupan kelompok (Sahrah, 1996), sebaliknya maskulin, yaitu kurang
hangat dan kurang dapat mengekspresikan kehangatan, kurang responsif terhadap
hal-hal yang berhubungan dengan emosi (Bakan dalam Sahrah, 1996). Individu yang
memiliki peran gender androgini memiliki tingkat kemandirian lebih tinggi
dibandingkan dengan peran gender lainnya (Nuryoto, 1992).
Setiap kebudayaan menurut Santrock (1998),
dan Berry (1999) mendefinisikan peran gender dari berbagai tugas, aktivitas,
sifat kepribadian yang dianggapnya pantas bagi seorang individu (laki-laki dan
perempuan). Sebelum pertengahan tahun 70-an gender diartikan sebagai suatu
gambaran dari tingkah laku dan sikap-sikap yang secara umum telah disetujui
seseorang sebagai suatu yang maskulin atau feminine saja. Laki-laki diharapkan
selalu mempunyai sifat maskulin sedang perempuan mempunyai sifat feminin.
Sedangkan Bem Sex Role Inventory (BSRI) mengenalkan peran gender androgini.
Teori
Pembentukan Peran Gender
Teori Biologis.
Perbedaan peran gender ada hubungannya dengan
aspek biologis, bahkan tidak lepas dari pengaruh perbedaan biologis (sex)
laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis laki-laki dan perempuan adalah
alami (nature), begitu pula sifat peran gender (maskulin dan feminin) yang
dibentuknya. Perbedaan biologis menyebabkan terjadinya perbedaan peran antara
laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, sifat stereotype peran gender antaara
lakki-laki dan perempuan sulit untuk dirubah. Perbedaan fisik antara
laki-lakidan perempuan memberikan implikasi yang signifikan pada kehidupan
publik perempuan, sehingga perempuan lebih sedikit perannya dibanding laki-laki
(Megawangi, 2001)
Teori Kultural.
embentukan peran gender bukan disebabkan oleh
adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, melainkan karena
adanya sosialisasi atau kulturalisasi. Teori ini tidak mengakui adanya sifat
alami peran gender (nature), tetapi yang ada adalah sifat peran gender yang
dikonstruksi oleh sosial budaya melalui proses sosialisasi. Teori ini
membedakan antara jenis kelamin (sex) konsep nature, dan gender konsep nurture.
Sesuatu yang nature tidak dapat berubah, sedangkan peran gender dapat diubah
baik melalui budaya maupun dengan teknologi. Pandangan teori ini dianut oleh
sebagian besar feminis yang menginginkan transformasi sosial, sehingga
perbedaan atau dikotomi peran gender laki-laki dan perempuan dapat ditiadakan
(Megawangi, 2001)
Teori
Freudian.
Menurut teori ini, anak belajar tentang peran
gender dari lingkungan sekitarnya, karena anak mengidentifikasikan perlakuan
orang tuanya. Anak laki-laki mengidentifikasi perlakuan ayahnya sehingga
bagaimana perilaku seorang laki-laki. Demikian halnya anak perempuan yang belajar
dari ibunya. Proses pengidentifikasian ini ditemukan anak dari perbedaan
genital jenis kelamin.
Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial meletakkan sumber sex
typing pada latihan membedakan jenis kelamin dalam komunitas masyarakat,
keutamaan dari teori ini adalah mengimplikasikan perkembangan psikologi
laki-laki dan perempuan mempunyai prinsip umum sama dengan proses belajar pada
umumnya. Jadi, jenis kelamin (seks) tidak dipertimbangkan istimewa; tidak ada
mekanisme atau proses psikologis khusus yang harus dipostulasikan dalam
menjelaskan bagaimana anak-anak menjadi sex typed. Karena telah termasuk
penjelasan bagaimana anak-anak belajar perilaku sosial yang lain. Teori ini
memperlakukan anak sebagai agen aktif yang berusaha mengorganisasikan & memahami
dunia sosialnya.
Teori Perkembangan Kognitif.
Individu
sebagai organisme aktif, dinamis serta memiliki kemauan berpikir. Individu
mampu dan berhak membuat pertimbangan dan keputusan sesuai dengan kemauan dan
kemampuannya sendiri. Sex typing mengikuti prinsip natural dan tidak dapat
dihindari dari perkembangan kognisi. Individu bekerja aktif memahami dunia
sosial mereka, dan akan melakukan kategorisasi terhadap dirinya sendiri
(self-categorization) sebagai laki-laki dan prempuan. Dasar kategorisasi diri ini
yang menentukan penilaian dasar. Seorang laki-laki misalnya akan stabil
mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai laki-laki, kemudian ia akan menilai
objek-objek yang berkenaan dengan jenis kelaminnya secara positif dan bertindak
secara konsisten dengan identitas jenis kelaminnya.
Teori Skema Gender.
Teori ini(Bem, 1974), merupakan kombinasi
dari teori belajar sosial dan teori perkembangan kognitif. Pengaruh lingkungan
sosial dan peran individu keduanya dipadukan dalam pembentukan peran gender
melalui skema gender. Teori skema gender berasumsi bahwa sex typing adalah
fenomena yang dipelajari, oleh karena itu dapat dihindari atau dimodifikasi.
Dengan
demikian skema gender merupakan sejumlah persepsi (kognisi) dan proses belajar
individu terhadap atribut-atribut dan perilaku yang sesuai jenis kelaminnya
atau menurut label yang diberikan komunitas sosial atau kebudayaan kepadanya
(Bem, 1981b).
Dengan teori ini dapat pula diketahui bahwa
jenis kelamin tidak selalu berhubungan dengan peran gendernya. Kebudayaanlah
yang membuat gender yang menjadi kognisi penting di antara berbagai kategori
sosial yang ada (ras, etnik, dan religiusitas). Mayoritas kebudayaan
mengajarkan perkembangan individu yaitu: pertama, mengajarkan jaringan subtansi
dari asosiasi-asosiasi yang dapat dilayani sebagai skema kognisi; kedua,
mengajarkan dikotomi tertentu tentang laki-laki dan perempuan secara intensif
dan ekstensif dalam setiap daerah pengalaman manusia. Manusia menunjukkan
pentingnya fungsi perbedaan gender sebagai dasar perbedaan adanya norma, tabu
dan susunan kelembagaan (Bem,1981a).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar