Selain
kemajuan atau progres, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang
cukup dari progresivisme. Untuk itu filsafat progresivisme menunjukkan dengan
konsep dasarnya sejenis kurikulum yang program pengajarannya dapat mempengaruhi
anak belajar secara edukatif baik di lingkungan sekolah maupun di luar
lingkungan sekolal Tentunya dibutuhkan sekolah yang baik dan kurikulum yang
baik pula.
Sekolah
yang baik itu adalah sekolah yang dapat memberi jaminan para siswanya selama
belajar, maksudnya yaitu sekolah harus mampu membantu dan menolong siswanya
untuk tumbuh dan berkembang serta memberi keleluasaan tempat untuk para
siswanya dalam mengembangkan bakat dan minatnya melalui bimbingan guru dan
tanggung jawab kepala sekolah. Kurikulum dikatakan baik apabila bersifat
fleksibel dan eksperimental (pengalaman) dan memiliki keuntungan-keuntungan
untuk diperiksa setiap saat.
Sikap
progressvisme, memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan
sifat-sifat yang sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum
sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan
susunan yang teratur. Pendidikan dilaksanakan di sekolah dengan anggapan bahwa
sekolah dipercaya oleh masyarakat untuk membantu perkembangan pribadi anak.
Faktor anak merupakan faktor yang cukup urgen (penting), karena sekolah
didirikan untuk anak. Karena itu hak pribadi anak perlu diutamakan, bukan
diciptakan sekehendak yang mendidiknya. Dengan kata lain anak hendaknya
dijadikan sebagai subyek pendidikan bukan sebagai obyek pendidikan.
Untuk
memenuhi keutuhan tersebut, maka filsafat progresivisme menghendaki jenis
kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan terbuka. Jadi kurikulum itu bisa
diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Sekolah didirikan karena tidak
mempunyai orang tua atau masyarakat untuk mendidik anak. Karena itu kurikulum
harus dapat mewadahi aspirasi anak, orang tua serta masyarakat. Maka kurikulum
yang edukatif dan eksperimental dapat memenuhi tuntutan itu. Sifat kurikulumnya
adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu yang
bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum.
Kurikulum
dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia
dalam hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek. Untuk itu
ia memerlukan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan demi kelestarian
hidupnya. Hidupnya bukan hanya untuk kelestarian pertumbuhan saja, akan tetapi
juga untuk perkembangan pribadinya. Oleh karena itu manusia harus belajar dari
pengalaman.
Pengalaman-pengalaman
itu diperoleh sebagai akibat dari belajar. Anak didik yang belajar di sekolah
akan mendapatkan pengalaman-pengalaman dari lingkungan, di sekolah akan
mendapatkan pengalaman-pengalaman itu yang nantinya dapat diterapkan sesuai
dengan kebutuhan umum (masyarakat sekitar). Progresivisme tidak menghendaki
adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan harus terintegrasi
dalam unit. Dengan demikian core curriculum mengandung ciri-ciri integrated
curriculum, metode yang diutamakan yaitu problem solving.
Dengan
adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit, diharapkan anak dapat
berkembang secara fisik maupun psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif,
afektif, maupun psikomotor. Dengan berlandaskan sekolah sambil berbuat inilah
praktek kerja di laboratorium, di bengkel, di kebun (Iapangan) merupakan
kegiatan belajar yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing.
Dalam hal ini, filsafat progresivisme ingin membentuk keluaran (out-put) yang
dihasilkan dari pendidikan di sekolah yang memiliki keahlian dan kecakapan yang
langsung dapat diterapkan di masyarakat luas.
Metode problem
solving dan metode proyek telah dirintis oleh John Dewey (1859-1952) dan dikembangkan
oleh W.H Kilpatrick. John Dewey telah mengemukakan dan menerapkan metode
problem solving kedalam proses pendidikan, melakukan pembaharuan atau inovasi
dari bentuk pengajaran tradisional di mana adanya verbalisme pendidikan. Di
sini anak didik dituntut untuk dapat memfungsikan akal dan kecerdasannya dengan
jalan dihadapkan pada materi-materi pelajaran yang menantang siswa untuk
terlibat aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa dituntut dapat berpikir
ilmiah seperti menganalisa, melakukan hipotesa dan menyimpulkannya dan
penekanannya terletak kepada kemampuan intelektualnya. Pengajaran dengan
program unit, akan meniadakan batas-batas antara pelajaran yang satu dengan
pelajaran yang lain dan akan lebih memupuk semangat demokrasi pendidikan.
W.H Kilpatrick
mengatakan, suatu kurikulum yang dianggap baik didasarkan atas tiga prinsip:
a. Meningkatkan
kualitas hidup anak didik pada tiap jenjang.
b. Menjadikan
kehidupan aktual anak ke arah perkembangan dalam suatu kehidupan yang bulat dan
menyeluruh.
c. Mengembangkan
aspek kreatif kehidupan sebagai suatu uji coba atas keberhasilan sekolah
sehingga anak didik dapat berkembang dalam kemampuannya yang aktual untuk aktif
memikirkan hal-hal baru yang baik untuk diamalkan, dan dalam hal ini apa saja
yang ingin berbuat serta kecakapan efektif untuk mengamalkan secara bijaksana
melalui pertimbangan yang matang.
Dari
penjelasan yang dikemukakan oleh W.H Kilpatrick tersebut ada beberapa hal yang
perlu diungkapkan yaitu: (1) kurikulum harus dapat meningkatkan kualitas hidup
anak didik sesuai dengan jenjang pendidikan, (2) kurikulum yang dapat membina
dan mengembangkan potensi anak didik, (3) kurikulum yang sanggup mengubah
prilaku anak didik menjadi kreatif, adaptif dan kemandirian dan (4) kurikulum
bersifat fleksibel atau luwes berisi tentang berbagai macam bidang studio.
Melalui proses
pendidikan dengan menggunaka kurikulum yang bersifat intergrated kurikulum
(masalah-masalah dalam masyarakat disusun terintegrasi) dengan metode
pendidikan belajar sambil berbuat (learning by doing) dan metode problem
solving (pemecahan masalah) diharapkan anak didik menjadi maju (progress)
mempunyai kecakapan praktis dan dapat memecahkan problem sosial sehari-hari
dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar